Mentalitas Korban
Renungan pagi:
Victim mentality
By GC.
Di sebuah klinik Psikiater, seorang wanita cantik dan kaya serta bergaun mahal datang untuk berkonsultasi.
Ia mengeluh bahwa semua orang di dunia ini tidak ada yang baik padanya secara tulus. Mereka baik hanya ketika mereka ada maunya.
Semua orang hanya “memanfaatkan” dirinya saja. Tidak ada orang yang sungguh-sungguh tulus mencintainya. Ia merasa hanya menjadi korban dari orang-orang yang katanya mencintainya. Seluruh hidupnya kosong dan hampa tak berarti. Ia rasanya ingin mengakhiri hidup ini.
Sang psikiater yang sudah lanjut usia tersebut mendengarkan cerita wanita tersebut dengan telaten.
Setelah mendengarkan seluruh cerita yang wanita cantik itu ingin
sampaikan, psikiater itu pun tidak memberikan nasehat atau berkata apa
pun selain ia mengajak wanita tersebut untuk ke halaman belakang dimana
ada sebuah kebun yang indah disana.
Sang psikiater tersebut memanggil seorang wanita tua yang sedang asyik menyapu lantai.
Psikiater: Ini adalah Abigail yang sudah bekerja disini hampir 3 tahun.
Ia mempunyai sebuah kisah hidup yang luar biasa yang saya ingin Anda
mendengarnya. Mari kita duduk di bangku taman itu sambil minum teh yang
sudah disediakan oleh sekretaris saya.
Abigail adalah seorang wanita tua berusia kurang lebih 50 tahunan.
Ia pun meletakkan gagang sapunya dan segera duduk di kursi.
Dengan muka merona akibat matahari pagi yang menimpanya dan dengan senyum yang merekah ia pun mulai bercerita:
Baiklah, saya akan memulai dengan kisah buruk yang saya hadapi di masa
lalu. Suamiku yang merupakan sumber nafkah keluarga kami, pelindung
kami, dan problem solver dari masalah-masalah yang kami hadapi di rumah meninggal
akibat malaria.
Lalu 3 bulan kemudian anak tunggalku satu-satunya yang menjadi teman
hidupku, sumber kebahagiaanku dan menjadi hiburan bagi diriku saat aku
sedang stress, aku bisa mengajaknya keluar, bermain, bercanda.
Namun apa yang terjadi, ia pun direngut dari hidupku. Anakku tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.
Aku tidak punya siapa-siapa.
Aku kehilangan segalanya. Aku tidak bisa tidur, tidak bisa makan dan aku
tidak pernah tersenyum pada siapapun, bahkan aku berpikir untuk
mengakhiri hidupku.
Aku merasa Tuhan tidak adil pada diriku. Apa motivasi bagiku untuk melanjutkan hidupku?
Aku bertanya-tanya mengapa Tuhan begitu kejam dan tidak adil padaku?
Sampai pada suatu sore, ada seekor anak kucing mengikutiku pulang. Sejenak aku merasa kasihan melihatnya.
Cuaca pada musim dingin itu sangat dingin membeku di luar rumah,
jadi aku memutuskan untuk membiarkan anak kucing itu masuk ke rumah.
Aku memberikannya susu dan dia meminumnya sampai habis.
Lalu si anak kucing itu bermanja-manja di kakiku dan untuk pertama
kalinya aku tersenyum. Dan ada kehangatan menjalar dari hatiku ke
seluruh tubuhku.
Sesaat kemudian aku berpikir jikalau membantu seekor anak kucing saja
bisa membuat aku tersenyum dan bahagia, maka mungkin melakukan sesuatu
bagi orang lain akan membuatku lebih bahagia lagi.
Maka di kemudian hari aku membawa beberapa biskuit untuk diberikan kepada tetangga yang terbaring sakit di tempat tidur.
Tiap hari aku mencoba melakukan sesuatu yang baik pada banyak orang.
Ternyata Hal itu membuat aku bahagia. Aku pun tersadar bahwa kebahagiaan
itu ternyata terjadi ketika kita bisa melihat orang lain terutama yang
kita kasihi itu bahagia.
Aku pun jadi kecanduan untuk berbuat baik pada orang.
Hari ini, aku tidak tahu apakah ada orang yang bisa tidur dan makan lebih baik dariku.
Sebab Aku sangat bahagia sekarang. Aku telah menemukan kebahagiaan dengan memberi.
Ya… Banyak dari kita berpikir bahwa kita selalu menjadi korban, Mengapa?
Itu adalah Karena kita berpikir bahwa untuk setiap kebaikan yang kita
berikan pada orang lain kita mengharapkan untuk mendapat balasan yang
setimpal. Maka ketika kita “merasa” bahwa kita tidak mendapatkan
balasannya, kita merasa kita telah menjadi “korban”.
Mari ubah cara pandang kita.
Sumber kebahagiaan itu bukanlah pada saat kita menerima.
Pada saat kita menerima memang itu membahagiakan tapi kebahagiaan itu
tidak akan pernah lebih besar dari kebahagiaan pada saat kita MEMBERI.
Pada saat memberi mari kita usah mengharapkan kembali semua kebaikan yang kita lakukan. Sehingga dengan begitu kebahagiaan kita menjadi berlipat ganda tatkala kebahagiaan orang yang kita kasihi itu kembali pada kita.
“We make a living by what we get. We make a life by what we give.”_ — (Winston S. Churchill).
“Today is a new day. Don’t let your history interfere with your destiny! Let today be the day you stop being a victim of your circumstances and start taking action towards the life you want. You have the power and the time to shape your life. Break free from the poisonous victim mentality and embrace the truth of your greatness. You were not meant for a mundane or mediocre life!” ― (Steve Maraboli)
Selamat pagi
Comments
Post a Comment